Dalam sistem pendidikan yang mengharamkan kegagalan, generasi yang lahir bukanlah generasi pembelajar sejati, melainkan generasi yang rentan: rentan kritik, rentan kecewa, dan rentan menyerah.
Anak-anak yang diluluskan tanpa melalui proses perenungan dan perjuangan sejati mulai menunjukkan gejala-gejala psikologis yang mengkhawatirkan. Mereka tumbuh dalam ilusi keberhasilan, tapi tak memiliki fondasi untuk menghadapi realitas. Ini bukan sekadar persoalan metodologi, melainkan kegagalan membentuk daya tahan karakter.
📉 Laporan Asosiasi Psikolog Sekolah Indonesia (2022) mengungkap bahwa:
• 57% siswa SMA di kota-kota besar merasa tertekan menghadapi ujian masuk perguruan tinggi,
• 46% mengaku takut menerima nilai rendah karena tidak terbiasa menghadapi kegagalan, dan
• hanya 12% yang merasa siap menerima kritik dan mengevaluasi diri.
Fenomena ini menunjukkan gejala low adversity quotient (AQ) yang akut. Anak-anak kita tidak diajari cara menghadapi kegagalan, melainkan dilindungi dari realitasnya. Akibatnya:
• Mereka mudah frustasi dalam kompetisi kerja,
• Terjebak dalam pola pikir menyalahkan, bukan bertumbuh,
• Kehilangan daya juang untuk memperbaiki diri.
Padahal, dalam sejarah peradaban dan perjalanan individu besar, kegagalan adalah guru pertama. Thomas Edison gagal ribuan kali sebelum berhasil menciptakan bola lampu. Imam Syafi’i menghafal ribuan bait sebelum menjadi mujtahid. Tapi kita kini punya generasi yang tak tahu arti kegagalan, apalagi menjadikannya batu loncatan.
Hilangnya Makna Belajar
Dalam sistem yang menuhankan nilai angka, belajar berubah makna. Ia bukan lagi proses menemukan makna, tapi perlombaan angka. Sekolah bukan tempat mencari hikmah, tapi tempat menaklukkan skor.
Ketika angka menjadi orientasi, maka:
• Ilmu dikorbankan demi target nilai.
• Proses belajar yang penuh tanya-jawab, diskusi, dan rasa ingin tahu digantikan dengan drilling soal dan bocoran kunci jawaban.
• Guru tidak lagi membentuk manusia, tapi hanya memoles hasil.
📊 Penelitian Universitas Negeri Yogyakarta (2021) menyebutkan bahwa:
60% siswa kelas 10 tidak mampu menjelaskan kembali materi kelas 7 hingga 9, meski mereka semua telah dinyatakan lulus dan naik kelas.
Apa artinya kelulusan jika tidak membawa bekas pemahaman?
Apa artinya nilai 90 jika tak ada daya pikir yang terbentuk?
Ini bukan sekadar ironi, tapi tragedi. Anak-anak kita tidak belajar untuk mengerti, tapi belajar untuk “menjawab soal”. Mereka tidak dibiasakan bertanya “mengapa?”, tetapi diajari cara menebak “jawaban yang benar”.
Di sinilah akar penyakitnya:
• Proses belajar yang dangkal membentuk pikiran yang cetek.
• Orientasi nilai tanpa makna menciptakan generasi tanpa kesadaran akan ilmu.
• Guru menjadi korban, terpaksa mengejar nilai agar sekolah tidak ditegur, bahkan demi mempertahankan akreditasi.
Apa Yang akan Kita Wariskan?
Kita sedang menyiapkan generasi yang rapuh secara psikologis, dan gersang secara intelektual. Mereka tahu cara lulus, tapi tidak tahu mengapa belajar. Mereka hafal rumus, tapi tidak memahami kehidupan.
Jika hal ini terus dibiarkan, maka kita sedang mencetak warga bangsa yang tak siap berdiri di atas kakinya sendiri—baik secara mental maupun intelektual. Dan yang lebih berbahaya, mereka akan mewariskan pola ini ke anak-anak mereka kelak.
Pendidikan sejati bukan tentang memproduksi ranking, tetapi membentuk manusia yang tahan uji, siap belajar, dan mampu memahami makna. Jika kita gagal melakukannya hari ini, maka kegagalan itulah yang sebenarnya harus kita haramkan. (bersambung ke bagian ke-4)
Oleh Mangesti Waluyo Sedjati
Sekjen DPP Al-Ittihadiyah | Ketua Majelis Ilmu Baitul Izzah
Sumber: mengestiwrites.wordpress.com
Kembali ke bagian 2: Ketika Sistem Mencetak Rasa Takut, Bukan Pembelajaran
Foto: pixabay