Guru Mulia

pendidikan dalam kepalsuan kelas AI

Serial Akar Masalah Pendidikan Kita (Bagian 1) Murid Tak Boleh Gagal, Pendidikan dalam Kepalsuan

Pendidikan sejatinya adalah proses menempa manusia — bukan sekadar sistem mencetak angka. Namun hari ini, kita dihadapkan pada fenomena menyedihkan: kegagalan telah menjadi dosa dalam ruang kelas, bukan bagian dari pembelajaran. Anak-anak kita tidak lagi didorong untuk memahami kesalahan, tetapi dipaksa untuk selalu “naik kelas” meskipun tanpa dasar yang kokoh.

Sekolah menjadi ruang akreditasi, bukan aktualisasi.

Guru menjadi operator sistem, bukan pendidik jiwa.

Anak menjadi korban ekspektasi nilai, bukan subjek pertumbuhan.

Episode ini hadir untuk menggugat akar dari kebudayaan semu yang menjangkiti pendidikan kita: budaya anti-gagal, budaya angka, dan budaya manipulasi nilai. Kita akan menelusuri secara mendalam bagaimana sistem ini dibangun, bagaimana dampaknya terhadap psikologi anak, bagaimana guru kehilangan integritas, dan bagaimana narasi kelulusan semu justru memperlebar jurang kebodohan struktural.

Mari kita hadapi kenyataan ini dengan jujur dan bijak. Karena pendidikan yang terus memalsukan nilai, adalah pendidikan yang sedang menyiapkan kehancuran masa depan secara sistematis.

Inilah saatnya kita membuka mata:

Untuk membebaskan guru dari tekanan palsu.

Untuk membebaskan anak dari jebakan nilai semu.

Untuk mengembalikan pendidikan ke jalur laku dan makna.

Semoga Episode 3 ini menjadi titik balik — bukan sekadar bacaan, tapi pijakan untuk perubahan nyata.

BAB I – PENGANTAR: Kegagalan yang Diharamkan

1.1. Pendidikan yang Tak Lagi Mengizinkan Gagal

Di banyak negara dengan sistem pendidikan yang sehat, kegagalan adalah bagian penting dari proses belajar. Ia adalah cermin jujur dari kemampuan, pemahaman, dan kesiapan peserta didik. Namun di Indonesia, kegagalan seolah menjadi dosa struktural. Bukan hanya murid yang “tidak boleh gagal”, tapi juga guru yang tidak boleh jujur tentang kegagalan itu.

Kebijakan pendidikan hari ini seperti mengejar statistik keberhasilan semu: semua harus lulus, semua harus naik kelas, semua harus tampak pintar. Maka lahirlah budaya “asal naik”, “nilai cukup-cukupan”, dan yang lebih membahayakan: ilusi prestasi.

Menurut data Kemendikbudristek, rata-rata angka kelulusan siswa SMP dan SMA selama lima tahun terakhir selalu berada di atas 99%. Namun di sisi lain, hasil PISA (Programme for International Student Assessment) 2022 menunjukkan bahwa 70% siswa Indonesia berada di bawah level minimum dalam membaca dan matematika. Ada jurang antara angka rapor dan kualitas sesungguhnya.

1.2. Ketika Nilai Lebih Penting dari Ilmu

Rapor hari ini bukan lagi refleksi pemahaman, tapi hasil transaksi nilai antara sistem, tekanan, dan kompromi. Nilai yang seharusnya mencerminkan proses belajar, justru menjadi semacam “simbol sosial” yang memaksakan keberhasilan. Guru dipaksa memoles angka demi menjaga citra sekolah. Murid dipaksa mengejar angka demi mengejar universitas.

Akibatnya, proses belajar kehilangan ruh. Anak-anak belajar bukan untuk tahu, tapi agar tidak malu. Mereka menghafal, bukan memahami. Mereka takut gagal, bukan tertantang untuk memperbaiki.

Dalam survei nasional yang dilakukan Litbang Kompas tahun 2023, 64% siswa SMA mengaku belajar hanya untuk ujian, bukan karena ingin memahami pelajaran. Lebih dari 50% guru mengaku merasa tertekan jika harus memberikan nilai rendah.

1.3. Guru dalam Simpang Jalan Moral dan Sistem

Di sinilah dilema terbesar guru. Antara kejujuran profesional sebagai pendidik, dan tekanan institusional yang mengharuskan “semua terlihat baik-baik saja”. Guru yang jujur menilai akan dituding sebagai guru yang tidak kompeten. Guru yang menahan siswa tidak naik kelas bisa dianggap mencoreng nama sekolah.

Kita menciptakan budaya yang menyuruh guru untuk berdusta demi reputasi. Kita mengajarkan pada anak bahwa dunia ini tidak memberi ruang untuk gagal. Padahal, justru kegagalan adalah guru yang paling jujur dan pengalaman yang paling kuat dalam membentuk karakter.

1.4. Kegagalan adalah Hak Pendidikan

Dalam pandangan pedagogis Paulo Freire, pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang memberi ruang untuk gagal dan bangkit. Ketika kita mencabut hak siswa untuk gagal, kita sebenarnya mencabut haknya untuk belajar dengan utuh. Sebab pembelajaran sejati bukan hanya soal sukses, tapi juga kemampuan merespons kegagalan secara dewasa.

Sistem pendidikan Finlandia misalnya, tidak mengenal sistem ranking hingga usia 16 tahun. Anak-anak diajak mengeksplorasi tanpa ketakutan akan gagal. Justru dari situ mereka membangun karakter tangguh, bukan karakter panik yang hanya belajar saat “ujian mendekat”.

1.5. Jalan Pulang: Mengembalikan Kegagalan sebagai Jalan Belajar

Kita perlu berani mereformasi cara kita melihat kegagalan. Bukan dengan menjadikannya aib, tapi bagian dari kematangan. Sekolah dan orang tua harus memahami bahwa gagal itu bukan akhir, tapi awal dari pembelajaran yang sebenarnya.

Sistem pendidikan perlu memulihkan makna penilaian, menguatkan peran guru sebagai pendidik nilai, bukan sekadar pengisi angka. Dan yang tak kalah penting: masyarakat harus dididik ulang agar tidak lagi menjadikan nilai semata sebagai tolok ukur keberhasilan hidup anak-anak mereka.

🔖 Kegagalan bukan musuh pendidikan. Justru ketika kegagalan dihapuskan, pendidikan kehilangan daya hidupnya. Mari kita kembalikan makna belajar sebagai proses bertumbuh—dengan ruang untuk mencoba, keliru, memperbaiki, dan akhirnya menjadi utuh. (bersambung ke bagian 2: Ketika Sistem Mencetak Rasa Takut, Bukan Pembelajaran)

Oleh Mangesti Waluyo Sedjati
Sekjen DPP Al-Ittihadiyah | Ketua Majelis Ilmu Baitul Izzah

Dari: mangestiwrites.wordpress.com

Foto: pixabay

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *