Pernahkah kita bertanya: mengapa anak-anak kita tampak cerdas, tetapi kehilangan arah? Mengapa guru-guru yang tulus justru merasa tertekan? Mengapa kebijakan pendidikan yang katanya reformis justru makin membuat sekolah bingung?
Hari ini kita hidup di tengah narasi manis tentang pendidikan, namun jika menengok langsung ke lapangan, yang kita temui justru wajah indah yang rapuh.
Banyak Jargon, Tapi Hilang Arah
Kebijakan demi kebijakan datang bertubi-tubi dengan jargon digital: Merdeka Belajar, Asesmen Nasional, Kurikulum Prototipe, Transformasi Digital, tetapi:
π Guru menangis karena beban administrasi.
π Murid bingung dengan sistem evaluasi yang terus berubah.
π Orang tua kehilangan kepercayaan pada sekolah.
π Masalahnya bukan pada guru. Bukan pula pada siswa. Tapi pada sistem yang kehilangan arah.
Kenapa bisa begini?
π₯ Karena mereka yang hidup dan berjuang di dunia pendidikan justru tidak dilibatkan dalam penyusunan kebijakan.
Terlalu banyak keputusan dibuat oleh mereka yang tidak pernah mengajar, tak pernah duduk bersama murid, dan tak tahu getirnya menjadi guru honorer di daerah terpencil.
Ketika Ahli Tak Diundang, Yang Bicara Adalah Angka, Bukan Nilai
π Survei nasional 2024 mencatat:
Lebih dari 75% guru merasa tak pernah diajak bicara saat kebijakan dibuat.
Siapa yang membuat keputusan? Lembaga donor? Konsultan asing? Pejabat yang sekadar mengejar proyek?
Hari ini kita menyaksikan pergeseran diam-diam tapi mematikan:
Pendidikan dijalankan sebagai proyek, bukan proses membentuk manusia.
π Data terbaru yang mengkhawatirkan:
- Hanya 12% pelatihan guru yang aplikatif dan berkelanjutan
- Lebih dari 50% sekolah di luar Jawa mengalami stagnasi digitalisasi
- Ratusan ribu guru non-ASN hidup dalam ketidakpastian status, gaji rendah, dan tekanan kerja tinggi
β Apakah ini yang disebut Transformasi Pendidikan?
Ketika Anak Hanya Jadi Objek, Bukan Subjek Pendidikan
Sistem pendidikan yang sehat adalah yang menganggap anak sebagai pelaku utama dalam proses belajarnya. Tapi realitanya:
π Anak-anak kita hanya jadi angka. Hanya nilai. Mereka tak boleh gagal β padahal hidup adalah tentang bangkit dari kegagalan.
Mereka dijejali hafalan, bukan diajak berpikir. Mereka dilatih untuk ujian, bukan untuk hidup.
Ini adalah kekerasan halus dalam sistem pendidikan, yang membuat anak-anak kita lulus tanpa benar-benar belajar, dan belajar tanpa pernah tumbuh.
πΎ Kita Juga Mulai Melupakan Akar Budaya Kita Sendiri
Sejak kapan sekolah kita menjauh dari akar budaya bangsa?
Anak-anak kini asing dengan nilai-nilai lokal, kearifan desa, semangat gotong royong, dan falsafah hidup bangsa sendiri.
Mereka dibesarkan dalam sistem yang menjauhkan mereka dari tanah airnya sendiri.
π Padahal pendidikan sejati adalah yang menanamkan cinta pada negeri, menghormati leluhur, dan membentuk manusia berakar kuat.
β οΈ Permendikbud No. 67/2024: Bukti Nyata Guru Tak Lagi Dianggap
Ketika organisasi seperti PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) dinonaktifkan sebagai organisasi profesi guru, itu bukan sekadar keputusan administratif.
π Itu adalah pesan simbolik yang menyakitkan:
Guru tak lagi punya ruang menentukan masa depan profesinya sendiri.
Apakah ini bentuk penghormatan?
Ataukah justru bentuk pembungkaman?
β
π Siapa yang Mengendalikan Arah Pendidikan Kita?
Pertanyaan ini penting. Sebab jika pendidikan dikuasai oleh yang tidak kompeten, tidak berpengalaman, dan tidak berintegritas, maka yang terjadi adalah:
β‘οΈ Pendidikan akan diseret oleh kepentingan politik, ekonomi, dan kekuasaan.
β‘οΈ Korbannya bukan hanya generasi hari ini, tapi juga masa depan bangsa.
β
π‘ Realita Baru, Ketika Gadget Menggantikan Guru
Dulu, orang tua adalah guru pertama. Hari ini, YouTube dan TikTok menjadi guru utama jutaan anak.
Jika kita tak segera menyesuaikan β tanpa meninggalkan nilai-nilai utama β maka pendidikan akan dikalahkan oleh algoritma.
π Yang terjadi bukan lagi learning loss, tapi value loss.
Kita kehilangan nilai, bukan sekadar pelajaran.
𧨠Lost Generation: Pendidikan yang Runtuh Tapi Tak Terlihat
Kalau jembatan ambruk, semua orang akan tahu.
Tapi kalau pendidikan rusak, efeknya baru terasa puluhan tahun kemudian.
π» Anak-anak tumbuh tanpa empati.
π» Remaja putus sekolah karena kehilangan makna.
π» Lulusan sarjana bingung karena tak punya keterampilan hidup.
π Itulah generasi yang hilang.
Dan Indonesia sedang berjalan ke arahnya⦠jika tak segera berbenah.
β
π Sudah Saatnya Kembali ke Tujuan Asli Pendidikan
Mari kita akhiri perlombaan ranking dan nilai.
Mari kembali pada hakikat pendidikan:
Membentuk manusia yang utuh: cerdas akalnya, sehat jiwanya, kuat karakternya, dan luhur budinya.
Pendidikan bukan hanya soal kurikulum.
Pendidikan adalah jalan membangun peradaban.
Dan peradaban besar bukan dibentuk oleh orang pintar semata, tapi oleh manusia yang bernilai.
Penulis: Mangesti Waluyo Sedjati
Sekjen DPP Al-Ittihadiyah | Ketua Majelis Ilmu Baitul Izzah
Sidoarjo, 21 Juli 2025.
Sumber: mangestiwrites.wordpress.com
Foto: pixabay